Oleh: Khariri Makmun*
Sebelum diminta melaksanakan ICIS IV di UIN Malang, saya diajak berdiskusi dengan Abah Hasyim, begitu kami memanggil KH A Hasyim Muzadi, di kantor Wantimpres.
Beliau tiba-tiba bicara mengenai konsep Islam moderat yang selama ini hanya ditafsirkan pada sikap atau prilaku keagamaan yang toleran, melindungi minoritas, menjaga perbedaan serta tidak kekiri atau kekanan, tetapi berada di tengah (tawassuth).
Pemahaman moderasi seperti ini oleh Abah Hasyim sudah dirasa sempit dan tidak longgar. menurut Abah Hasyim, jika moderasi dimaknai terlalu sempit, maka tidak cukup untuk bisa mengatasi persoalan bangsa.
Moderasi bukan hanya diterapkan pada doktrin keagamaan atau toleransi lintas agama, tapi harus ditarik kepada persoalan ekonomi, sosial, budaya, dan peradaban.
Perbincangan dengan Abah hasyim semakin menarik ketika kopi hangat dan kue ringan disuguhkan.
Abah Hasyim melanjutkan lagi pembicaraannya, selama ini NU telah menempatkan pada posisi yang tepat sebagai pennjaga NKRI dan memperkuat konsep kebangsaan melalui sikapnya yang tasamuh (toleran), tawassuth (moderat), dan tawazun (seimbang).
Konsep ini secara teori sudah tepat untuk menjaga kebinekaan dan menjaga kehidupan bernegara yang ada di negeri tercinta. Namun, dalam praktiknya teori tersebut sering dipahami secara sempit.
Menurut Abah Hasyim, konsep tasamuh, tawasuth, dan tawazun cenderung hanya dibatasi penggunaannya pada persoalan kebangsaan yang menyangkut kebinekaan dan keragaman kehidupan berbangsa, termasuk melindungi minoritas.
Konsep-konsep mendasar aswaja tersebut belum dioptimalkan untuk mengurai problematika ekonomi bangsa yang kian rumit. Kesenjangan yang melebar, pengangguran yang terus bertambah, praktik kapitalisme yang semkin menjadi-jadi. Ini semua butuh kontekstualisasi konsep Aswaja yang cerdas.
Abah Hasyim cukup gelisah melihat kondisi ekonomi masyarakat kecil, karena itu beliau dalam berbagai forum kiai dan ulama diberbagai daerah, mendorong agar NU mencari formula merumuskan konsep-konsep Aswaja pada tataran aplikatif sebagai panduan mensikapi dinamika politik, ekonomi, sosial budaya dan ideologi.
Seperti apa konsep tasamuh, tawassuth, dan tawazun itu seharusnya dipraktikkan dalam suasana kebangsaan seperti sekarang ini ?
Abah hasyim menambahkan, NU sudah berhasil menciptakan kehidupan bernegara yang aman dan damai, melindungi minoritas, membuka akses pendidikan di madrasah dan pesantren yang murah dan bisa dijangkau oleh siapapun, tapi NU masih belum mampu menegakkan keadilan ekonomi bangsa, membuka akses modal kepada pengusaha kecil, memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan, mengabdikan diri sebagai mujahid agar kemakmuran dan kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat di negeri ini.
Menurut Abah Hasyim, prinsip tawazun itu elastis dan tidak kaku, menjaga keseimbangan, berarti menambahkan berat pada pihak yang dirasa bobotnya lebih ringan, bukan menambahi tambahan beban kepada pihak yang bobotnya sudah berat.
Tawazun itu berpihak pada keadilan ekonomi yang sedang diperjuangkan wong cilik bukan mendorong ekonomi kapital yang berpihak kepada pemodal.
Tawazun dibidang ekonomi berarti turut menciptakan pemerataan ekonomi, sehingga kekayaan negara tidak hanya dikuasai segelintir konglomerat.
Dengan prinsip moderat yang digunakan untuk menegakkan keadilan ekonomi, ruang dialog dapat dibuka kembali, baik dengan pemerintah maupun pengusaha pemodal besar. NU akan menjadi fasilitator mendorong iklim ekonomi nosional yang lebih kondusif.
Diharapkan dengan moderasi di bidang ekonomi maka tata ruang ekonomi nasional bisa dilakukan oleh pemerintah bersama pelaku usaha dan civil society sehingga pergerakan ekonomi tumbuh dengan proporsional, kesenjangan tidak melebar, inflasi bisa ditekan, pengangguran dapat dikurangi dan pembangunan di berbagai daerah berjalan secara merata.
Moderasi di bidang ekonomi tidak akan mengancam eksistensi dan kekuatan ekonomi kelompok tertentu, melainkan demi memperjuangkan kedaulatan politik dan ekonomi nasional yang kini terancam oleh kekuatan modal.
Jika konsep moderasi NU tidak segera dikontekstualisasi, moderasi hanya dimaknai ditengah dan statis, tidak aktif memainkan prinsip tawazun di bidang politik dan ekonomi, NU akan kehilangan momentum terlibat mengurai benang kusut kemiskinan dan pemerataan ekonomi bangsa yang sudah mendekati titik rawan.
Mungkin saja gagasan dan cara pandang Abah Hasyim dalam merumuskan Kembali konsep moderat sangat sederhana, tetapi sudut pandang moderasi seperti ini belum pernah saya dengar dari tokoh NU sebelumnya.
Dari perbincangan inilah kemudian Abah Hasyim mengusulkan agar penyelenggaraan ICIS IV mengangkat tema : “Upholding Islam as Rahmatan Lil Alamin: Capitalizing Intellectuality and Spirituality toward the better life for Human Beings.”
Di antara subtema yang dibahas dalam ICIS IV ini adalah konsep moderat dan tawazun di bidang politik dan ekonomi.
Kita sebenarnya masih perlu banyak menimba ilmu, analisis dan hikmah dari Kiai Hasyim yang sederhana tapi mengena, namun kini beliau sudah menghadap Sang Khalik.
Hari ini, Rabu (22/3) tahlil dan doa tujuh hari Abah Hasyim akan berlangsung di al-Hikam I Malang, Jawa Timur dan besok, Kamis (23/3) tahlil akan digelar di al-Hikam II Depok, Jawa Barat. Semoga Allah SWT memberi rahmat dan ampunan bagi Abah Hasyim. Al-Fatihah.
*Khariri Makmun, Direktur Kerja Sama Luar Negeri ICIS dan Direktur Second Track Diplomacy Network
Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !
from Update per Minute http://ift.tt/2mTBaSD UPDATE
Belum ada tanggapan untuk "NU, Abah Hasyim, dan Kontekstualisasi Moderasi Islam"
Posting Komentar