Gudeg yang disajikan gudeg basah dengan cita rasa manis, dipadu dengan sambal krecek dengan cubitan rasa pedas yang pas. Tambahkan ayam pejantan atau telur bulat yang diberi sentuhan bumbu senada, memperkuat rasa gudeg yang menggoda. Nikmati bersama nasi hangat atau bubur beras, maka sarapan pagi ini terasa istimewa. Konsistensi Mbah Lindu menjajakan gudeg puluhan tahun sejak zaman kolonial, membuat racikan gudegnya memang menjadi magnet para pecinta kuliner khas Jogja yang satu ini.
Matahari baru menyingsing, tapi Ibu Ratiah sudah mulai mempersiapkan lapak jualannya di Jl Sosrowijayan, Yogyakarta. Gudeg, krecek, ayam, telur, nasi, bubur dan lainnya dia hamparkan di kedai kecilnya, hasil olahan beliau bersama sang bunda,
Mbah Lindu. Ya, Mbah Lindu sendiri sudah tidak turut lagi menjajakan gudeg, karena keterbatasan fisiknya yang tahun ini sudah mencapai usia 1 abad alias 100 tahun! Mbah Lindu sudah memasak dan menjajakan gudeg sejak usianya masih belasan di zaman kolonial Belanda, dan tidak pernah berhenti sampai di usia senjanya saat ini. Dalam 2-3 tahun terakhir saja, Mbah Lindu tidak lagi langsung melayani pelanggannya, digantikan oleh salah seorang putrinya, Ibu Ratiah, tapi untuk memasak beliau masih ikut turun ke dapur. Mengapa beliau bisa bertahan selama itu berjualan gudeg?
Selain sifat Mbah Lindu yang ikhlas menjalani profesinya sebagai penjual gudeg, rasa gudeg racikannya yang wuenak tentunya membuat pelanggannya bertahan bahkan bertambah di setiap waktunya. Seperti ketika saya sengaja meluangkan waktu untuk menikmati sarapan
Gudeg Mbah Lindu ini. Sekitar pukul 7 pagi saya tiba di kedai kecilnya, di pinggir Jl. Sosrowijayan, saat itu sudah ramai orang mengerumuni Ibu Ratiah yang dengan telaten melayani pesanan pelanggannya satu persatu. Saya harus menunggu sekitar 15 menit sebelum mendapat giliran dilayani. Saya memilih bubur sebagai makanan utamanya, dengan gudeg dan sambal krecek tentunya, tambah sepotong paha ayam dan ati ampela. Gudeg yang disajikan gudeg basah dengan cita rasa manis yang pas, dipadu dengan sambal krecek dengan cubitan rasa pedas. Ayam yang digunakan ayam pejantan dengan sentuhan bumbu senada yang meresap sampai ke tulang, memperkuat rasa gudeg yang sudah menggoda. Dulu gudeg ini disajikan dalam pincuk beralaskan daun pisang, tapi sekarang menggunakan piring rotang dengan tetap beralaskan daun pisang sehingga tidak perlu mencuci piring. Menjelang pukul 10 pagi, biasanya dagangannya sudah habis, dan Ibu Ratiah sudah berkemas pulang, untuk bersama sang Bunda mempersiapkan masakan untuk dijual esok harinya.
Konon Mbah Lindu sudah mulai menjajakan dagangannya sejak usia beliau masih belia, kala itu Indonesia masih dalam era kolonial penjajahan Belanda di tahun 1940. Dan beliau konsisten terus berjualan gudeg sampai usianya yang sekarang ini. Salah satu pelanggan beliau adalah maestro kuliner Indonesia, William Wongso. "Sepengetahuan saya, tidak ada satu orangpun di dunia yang secara konsisten masak dan menjual satu jenis menu sampai lebih dari 80 tahun selain Mbah Lindu ini", begitu tutur William Wongso berbicara tentang mbah Lindu ini. Tak hanya itu, serial Street Food di Netflix yang tengah ramai dibicarakan orang pun, memotret cerita mbah Lindu ini dalam salah satu episodenya. Penasaran kan? Pastikan untuk menyempatkan diri menikmati Gudeg Mbah Lindu kalau kamu lagi di Jogja.
Wisata Kuliner Indonesia #425
Kuliner Jogja
Gudeg Mbah Lindu
Jl. Sosrowijayan (Samping Hotel Grage)- Yogyakarta
Telp: 0857 1398 8883
Koordinat GPS: -7.79168, 110.36403
from Update per Minute http://bit.ly/2WkNXDt UPDATE
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Kuliner Jogja - Gudeg Mbah Lindu (sejak 1940)"
Posting Komentar