Dalam situasi apapun, kita diharapkan menjadi pribadi yang tangguh. Senyum saja tidak cukup untuk mewakili beban yang menumpuk pada pundak yang semakin rapuh. Dibutuhkan keikhlasan serta kerja keras, sehingga jalani hidup apa adanya dan tanpa syarat ketentuan bisa dengan mudah dilakukan. Yah, begitulah, hidup memang tidak semudah yang dibayangkan
Sebelum buah hati saya lahir, tampil semangat dan energik selalu mewarnai hari-hari saya. Menjaga mood supaya selalu ceria selalu saya lakukan. Namun, saat mood nggak karuan, ini sangat bisa diatasi seperti membalikan telapak tangan. Tinggal memasak satu buah mie instan yang dibumbui dengan drama korea saja, mood saya sudah membaik seperti sedia kala, meskipun air mata dan ingus harus mengalir secara bersamaan
Semangat yang membara serta mood yang selalu ceria kini tidak sama lagi seperti dulu. Semenjak memiliki buah hati, semuanya terasa dua kali lipat lebih melelahkan. Bayangkan saja, saat si dia pertama kali lahir, saya harus begadang bahkan tidak tidur selama 24 jam. Dikit-dikit nangis, dikit-dikit nangis, ah, nggak stres gimana coba? Mana saya nggak punya ART juga
Meskipun kondisinya seperti itu, saya berusaha untuk ikhlas menjalaninya. Wajah si kecil yang polos, lucu, doyan menangis, dan senyum sesekali membuat saya berpikir bahwa manusia hakikatnya tidak perlu hidup dalam kepura-puraan. Lihat saja, saat bayi senang, ia tertawa, saat ia gelisah dan sedih, ia menangis. Sesimple itu, kan?
Bagi manusia kecil yang belum bisa pipis sendiri hal itu tentu saja bukan menjadi masalah. Bagi manusia yang nyaris kehilangan semangat seperti saya, itu tentu saja tidak tidak mudah. Kenapa kok bisa? Semuanya kembali lagi pada eksistensi diri, khususnya di media sosial, yang selalu ingin tampil lebih baik dan mendapatkan penilaian positif dari orang-orang
Hah! Mengejutkan, bukan? Tapi, jangan salah. Ini hampir dilakukan oleh semua pengguna media sosial, kok. Ambil contoh saja, kemarin teman saya habis putus cinta dengan lelaki yang sudah ia pacari selama enam tahun. Karena ingin terlihat baik-baik saja, akhirnya ia memposting foto liburan bersama teman-temannya di media sosial dengan caption, “Aku lebih baik tanpamu! Happy banget”. Sekilas pengen banget unfollow itu orang. Pencitraan banget!
Tapi setelah dipikir-pikir, pencitraan itu dibutuhkan juga. Penilaian baik dari warga media sosial cukup memberikan energy positif bagi saya. Setidaknya, mood menjadi lebih baik. Lantas, apa yang saya lakukan? Tentu saja memposting hal-hal yang sebenarnya tidak terjadi
Saat saya kerepotan dengan si kecil yang aktif, doyan makan, dan masih doyan nangis, saya mencoba untuk memposting-hal-hal menyenangkan. Saat si kecil sedang duduk manis dan tertawa lepas, saya mengambil gambar tersebut lantas mengunggahnya di media sosial disertai caption ala-ala emak anti-depresi. Yang terjadi adalah banyak komentar positif yang menyatakan bahwa saya adalah ibu yang baik dan penuh semangat. Padahal nggak gitu aslinya, Bambaaaang
Saya cukup senang dikomentari seperti itu. Minimal mood menjadi lebih rileks dan saya bisa lebih bersemangat saat mengurus anak. Padahal, saat membalikan badan, saya sudah mendapati semua barang-barang yang ada di meja kembali berserakan seperti kapal pecah, dan wajah si kecil belepotan dan terlihat abstrak. Tau apa yang saya rasakan? Monangis baget rasanya
Mau nggak mau saya harus membereskan lagi semua barang yang sebelumnya sudah tertata rapi di atas meja. Sambil bersusah payah, saya berpikir lagi, apa ya faedahnya memposting foto seperti itu? Apakah untuk menyemangati diri sendiri atau orang lain? Atau bahkan membuat orang lain iri dengan kehidupan saya yang sebenarnya tidak seperti itu? Ah, entahlah. Pokoknya saya nggak bisa mikir
Media sosial pokoknya sesuatu banget. Kita seperti dituntut untuk tampil dalam keadaan baik-baik saja seperti tidak ada masalah yang terjadi. Hal yang paling mengganggu juga dirasakan oleh saya semenjak menikah dan memiliki anak, di mana tubuh ini tidak lagi indah seperti saat gadis belia. Ah, rasanya ingin sekali memutar waktu
Pada akhirnya, saya berusaha keras untuk mengembalikan tubuh ini menjadi singset seperti model-model Instagram. Yang terjadi adalah, saya berhasil menurunkan berat badan 2 kg dalam waktu 2 minggu. Senang rasanya dan segera ingin upload ke media sosial. Akhirnya, saya selalu meminta suami untuk mengambil foto full body
Hasilnya tentu saja tidak seperti seorang fotografer profesional. Saya masih tetap terlihat gemuk, apalagi di bagian paha dan lengan. Nggak mau frustasi, akhirnya saya mengunduh aplikasi edit foto yang bisa membuat badan saya menjadi lebih langsing dan terkesan enak dipandang. Keluarlah jurus edit maut saya pada saat itu dan berhasil!
Foto yang saya unggah mendapatkan banyak like dan pujian dari teman-teman di media sosial. Ada yang mengatakan bahwa saya cantik singset seperti gadis, dan ada juga yang mengatakan saya pandai mengurus diri. Saya senyum-senyum menatap layar ponsel sambil memakan cemilan kentang goreng yang baru saja suami saya hidangkan. Ah, seru ya ternyata!
Namun, hanya butuh satu detik saja untuk menghancurkan kesenangan belaka itu. Saat seorang teman lama lewat depan rumah dan kebetulan saya sedang ada di teras, ia terlihat seperti kaget. Saat menyapa dan menyalami, ia berkata, “Wah, pangling banget ya kamu. Di foto singset tapi kok aslinya lucu banget sih kayak doraemon?” Seketika hati saya berantakan dan terbawa angin entah kemana
Karena tidak ingin mengalami hal yang menyakitkan, akhirnya saya berusaha untuk hidup tanpa pura-pura. Saya memposting tubuh saya apa adanya di media sosial, dan mulai tidak peduli dengan omongan orang. Namun, yang terjadi adalah berseliwerannya akun pelangsing badan di kolom komentar. “Berat badan susah turun dan suka pake photoshop buat edit foto? Cek ig kami ya sist!”. Ini orang-orang kenapa sih?!
Modus-modus seperti itu sudah pasti akan mendarat di akun-akun orang yang perlu pengakuan seperti saya. Gimana nggak, mereka juga mencari keuntungan dengan modus ala-ala agar kita mau membelinya. Pada puncaknya, saya menjadi serba salah dan ingin menutup akun media sosial saja
Namun, itu tentu saja tidak menjadi solusi. Bagaimanapun juga, ada beberapa informasi penting yang bisa saya dapatkan dari media sosial, seperti parenting, menu MPASI, dan masih banyak lagi. Untuk itu, cara tepat yang harus saya lakukan adalah mulai menerapkan self-acceptance
Self-acceptance atau menerima diri sendiri sangat penting dilakukan di tengah era yang penuh kepalsuan. Menerima diri sendiri apa adanya membuat saya menjadi lebih nyaman dan lebih bersyukur. Ditambah lagi, saya menjadi lebih menghargai proses jatuh bangun hidup yang sedang saya alami tanpa kepura-puraan di media sosial. Selain itu, saya juga bebas berkarya dengan si kecil, sehingga hari-hari menjadi lebih produktif
Value tanpa syarat ketentuan dan hidup apa adanya yang saya terapkan ini sejalan dengan semangat yang disampaikan IM3 Ooredoo. Di tengah maraknya “pencitraan” yang berujung pada gaya hidup penuh “kepalsuan”, IM3 Ooredoo justru mengajak generasi muda untuk berani tampil apa adanya, berkarya dan berekspresi tanpa kepura-puraan
Untuk itu, IM3 Ooredoo menghadirkan produk telekomunikasi yang simpel dan bebas syarat seperti Freedom Internet. Dengan penawaran baru ini, kita bisa memilih berbagai jenis paket internet dengan 100% kuota utama. Menariknya, pulsa juga tidak akan terpotong saat kuota habis karena paket ini dilengkapi dengan fitur Pulsa Safe
Ingin menikmati paket internet tanpa kepalsuan dan kepura-puraan? Gunakan saja IM3 Ooredoo. Hubungi *123# atau unduh aplikasi my IM3 di Playstore atau Appstore. Hidup akan menjadi lebih apa adanya tanpa ribet dan pusing. Oh iya, melalui video ini https://www.youtube.com/watch?v=Nev2ITCOIrQ kita akan lebih mudah melihat gambaran akan betapa bahagianya hidup tanpa kepalsuan.
Selamat mencoba!
from Update per Minute https://ift.tt/2Rz0Rtd UPDATE
Belum ada tanggapan untuk "Nikmatnya Jalani Hidup Apa Adanya dan Tanpa Syarat Ketentuan, Yuk Dicoba!"
Posting Komentar