KanalBerita8.co- Ideologi pada suatu bangsa pada hakikatnya memiliki ciri khas serta karakteristik masing-masing sesuai dengan sifat dan ciri khas bangsa itu sendiri.
Dalam ideologi Pancasila menyakini atas kebenaran dan kemerdekaan individu, namun dalam hidup bersama juga harus mengakui hak dan kebebasan orang lain secara bersama sehingga dengan demikian harus mengakui hak-hak masyarakat.
Pancasila ada pada kehidupan bangsa dan terletak pada kelangsungan hidup bangsa dalam rangka bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah uang cukup panjang, sejak zaman kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit serta dijajah oleh bangsa asing selama tiga setengah abad.
Sintesia persatuan dan kesatuan tersebut kemudian dituangkan dalam suatu atas kerohanian, yang merupakan suatu kepribadian serta jiwa bersama yaitu Pancasila. Oleh karena itu prinsip-prinsip nasionalisme Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah bersifat “majemuk tunggal”.
Kini setelah kredibilitasnya pernah merosot di titik nadir, Pancasila kembali dipercaya sebagai benteng ideologi strategis dalam merajut kebangsaan sekaligus pelindung bagi nilai-nilai kemajemukan.
Sesungguhnya apa yang terefleksikan pada nilai-nilai yang dikandung Pancasila adalah manifestasi dari cita-cita kemanusiaan universal inklusif yang mengendap di jiwa rakyat dan yang diekspresikan oleh para tokoh bangsa yang merintis kelahiran Indonesia sejak awal.
Bahkan Reformasi yang melahirkan kebebasan berpikir dan berbicara dianggap melebihi batas yang wajar alias kebablasan, yang menurut Presiden Joko Widodo ternyata juga berpotensi menumbuhkan ekstremisme, radikalisme, dan intoleransi. Benarkah?
Yang menarik, Pancasila sebagai ideologi dasar negara, dalam batas-batas tertentu, sering dimanfaatkan oleh para pengusung radikalisme karena watak dasar Pancasila yang merangkum semua kekuatan politik untuk eksis di bawah naungannya.
Konsekuensinya sebagai suatu negara hukum yang berkaitan sosial, maka negara Indonesia harus mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 dan 2, Pasal 28, Pasal 29 ayat 2, pasal 31 ayat 1.
Demikianlah sebagai suatu negara yang berkeadilan maka warga negara berkewajiban mentaati peraturan perundang-undangan sebagai manifestasi keadilan legal dalam hidup bersama.
Belakangan ini ada kecemasan tentang kemungkinan bangkitnya kekuatan yang hendak meniadakan nilai-nilai inklusif, toleran, dan humanisme universal yang tentu saja berimplikasi pada apa yang disebut sebagai tenun atau rajutan kebangsaan.
Namun, sesungguhnya kecemasan itu tak perlu berlebihan sebab fakta sosial politik selalu memperlihatkan bahwa pada tataran praksis politik formal nasional, tak satupun parpol berbasis ideologi yang mendukung intoteransi dan radikalisme pernah menjadi menguasai pentas politik mayoritas.
Radikalisme sebagai ideologi yang mengusung nilai-nilai intoleran, sektarian dapat mengambil bentuk gerakan yang berbasis keagamaan maupun antikeagamaan.
Apapun bentuk gerakan itu, ruang untuk mewujudkan cita-cita yang diperjuangkannya sama sekali tak ditoleransi oleh Pancasila.
Sangatlah logis bahwa setiap gerakan yang menjadi antitesis terhadap Pancasila akan menemui perlawanan masif dari berbagai kekuatan sosial politik yang merupakan kekuatan mayoritas yang melahirkan Pancasila. Demikian sperti yang dikatakan pengamat politik Azyumardi Azra.
Kebangkitan radikalisme itu jelas berkaitan dengan persoalan keadilan baik politik maupun ekonomi. Semakin banyak kelompok yang merasa termarginalkan tak menjadi bagian dari kelompok yang menikmati sumber daya alam yang seharusnya menjadi berkah bagi semua warga secara adil, kekuatan perlawanan itu senantiasa tumbuh.
Dan terpenting, hakikat makna Bhinneka Tunggal Ika memberikan suatu pengertian bahwa meskipun bangsa dan negara terdiri atas berbagai macam perbedaan namun merupakan suatu persatuan
Belum ada tanggapan untuk "Jadi Benteng strategis,Paham pancasila tetap bertahan di era demokrasi yang sudah kebablasan saat ini."
Posting Komentar